Sebelum kami bercerita tentang kampung Layur dan sekitarnya, kami akan bercerita tentang komunitas orang Arab di daerah Pasar Johar, Semarang. Karena di derah sekitar Pasar Johar terdapat peninggalan etnis dari beberapa kebudayaan; yaitu Indis, India, Pecinan, dan termasuk Arab juga membaur di daerah sana. Keberadaan kami disana fokus meneliti keturunan Arab.
Kami akan sedikit menceritakan pertemuan kami dengan seorang keturunan Arab, yang bernama HABIB UMAR AL ATAS. Pertemuan kami tidak di sengaja, ketika kami beristirahat di masjid kaumaan sekitar Pasar Djohar, ketika itu kami melihat wajah yang tidak asing seperti wajah orang keturunan asli Arab. Lantas kami berkenalan dan bertanya-tanya, ternyata beliau menggunakan Dialek Bahasa Jawa alus. Kami mengira beliau akan menggunakan bahasa Arab. Beliau ternyata seorang pedagang batik di Pasar Djohar, yang sebelumnya berdagang kain sarung. Rumah beliau berada di daerah Perbalan sekitar kampung melayu. Beliau menuturkan tentang banyak hal; diantaranya beliau menceritakan bahwa kesehariannya memiliki kesamaan dengan orang-orang semarang pada umumnya, makan dengan nasi putih dan lauk seadanya. Beliau menuturkan tidak semua kaum keturunan arab hidup layak disemarang, ada yang menjadi pedagang, ada juga yang jadi pegawai kantoran, akan tetapi ada juga yang kerja serabutan dan tidak pasti. Itu semua tergantung pada kemampuan masing-masing individu. Dapat dikatakan bahwa pekerjaan yang dimiliki oleh orang keturunan Arab beragam, sehingga stratifikasi sosial pada orang Arab sama halnya seperti masyarakat biasa.
Yang membedakan adalah nama yang di sandang. Biasanya terdapat perbedaan, jika itu keturunan arab asli, maka ada nama marga yang ikut menjadi namanya, yang itu menunjukkan bahwa mereka menganut sistem kekerabatan secara patrineal. Selain itu yang membedakkan lagi adalah bahwa dalam upacara pernikahan orang Arab sangat mengamalkan ajaran Islam, keyakinan mereka terhadap ajaran Islam masih sangat lekat dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya saja; jika bukan muhkrim tidak boleh saling berdekatan, ijab dilakukan pihak laki-laki dengan wali dari perempuan tersebut, perempuan ada di kamar ketika di butuhkan tanda tangannya, maka yang ada adalah seseorang akan masuk ke kamar untuk meminta dan harus perempuan, serta ketika memiliki keturunan/anak, nama dari anak tersebut harus mengikutsertakan nama dari bapaknya.
Kemudian disini kami akan melanjutkan cerita tentang kampung Layur dan sekitarnya, kampung ini terletak di sekitar belakang Stasiun Tawang. Sebuah pengamatan yang didasari oleh adanya keingintahuan kami dan kajian dari bahasan tentang Bentang Sosial-Budaya masyarakat Jawa dan struktur dari masyarakat Jawa itu sendiri. Kami melakukan beberapa pengamatan, bahwa di beberapa kota di Jawa Tengah terdapat kelompok etnis Arab atau keturunan bangsa Arab yang tinggal di beberapa kota yang kemudian terbentuklah suatu perkampungan yang dikenal dengan Kampung Arab. Dari hasil pengamatan melalui observasi langsung dilapangan, menunjukkan bahwa di Kota Semarang secara administratif tidak terdapat Kampung Arab, tetapi terdapat suatu komunitas etnis Arab yang sebagian besar berada di jalan Petek dan jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang. Berdasarkan data kependudukan tahun 2008 lalu jumlah penduduk yang beretnis Arab di Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara berjumlah 312 jiwa. Akan tetapi bukan berarti bahwa etnis Arab hanya ada di Kelurahan Dadapsari saja, secara parsial etnis arab berada di beberapa wilayah di kota Semarang, seperti di Kauman, Pekojan dan Petolongan. Komunitas etnis Arab tersebut sejak dulu telah bergabung dengan beberapa etnis lain, seperti Banjar Bugis, melayu di sebuah perkampungan yang sejak jaman dulu dikenal sebagai kampung Melayu. Meskipun demikian keberadaan etnis Arab di Semarang telah meniggalkan budaya materi (tinggalan- tinggalan arkeologis), berupa Masjid, makam, rumah tinggal, dan lain-lain.
Di Kampung layur ini, hanya ada beberapa orang yang berpakaian gamis yang sangat mencirikan dia berasal dari keturunan arab. Logat bicara atau dialek yang dipakai sangat bermacam-macam, ada yang memakai logat betawi, dan ada pula yang menggunakan logat batak dan sebagainya. Kebanyakan bangunan pertokoan dan rumah-rumah di kampung layur merupakan bangunan tua, tetapi beberapa juga sudah ada bangunan yang baru, semi permanen dan lainnya. Disini juga ada rumah dengan gaya banjar (rumah panggung). Akan tetapi karena adanya depresi tanah (penurunan tanah), dan karena keadaan geografis yang dekat dengan pelabuhan, mengakibatkan beberapa rumah yang sudah lama itu amblas atau tenggelam dalam tanah, bahkan ada yang hanya terlihat gentingnya saja. Menurut penuturan salah seorang warga yang tinggal di jalan Pethek, yang bernama Aminah Al Muthohar, beliau menuturkan bahwa dahulu suka bermain di bawah rumah orang banjar tersebut.
Dinamakan Kampung Melayu atau layur karena dulu sebagian besar orang yang mendiami kawasan tersebut adalah orang-orang ras Melayu. Pada masa tersebut di kampung ini terdapat tempat untuk mendarat kapal dan perahu yang membawa barang dagangan, sehingga tidak mengherankan kalau ada bagian yang dinamakan pula Melayu Dara. Lokasinya yang sangat strategis mengundang orang untuk berdiam di situ pula. Dan orang-orang dari Arab kemudian menempati kampung tersebut.
Masjid kuna di kampung layur tersebut dikenal dengan sebutan Masjid Menara yang terdiri dari dua bangunan inti yaitu bangunan masjid dan menara. Masjid Menara dibangun oleh masyarakat etnis Arab yang tinggal di wilayah tersebut dan terletak di sebelah barat kali Semarang pada jarak sekitar 2 meter. Bangunan masjid terdiri dari dua lantai yang terbuat dari bahan lepa dan kayu. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat wudhu dan lantai atas berfungsi untuk pelaksanaan ibadah shalat. Atap masjid dibuat dengan bentuk atap tumpang, dan di bagian bawah atap ditutup dengan papan kayu. Arah hadap masjid menghadap ke selatan dengan satu pintu sedangkan di sebelah timur terdapat satu pintu untuk keluar masuk dari ruang inti masjid ke serambi dan sebaliknya. Dilihat dari luar, masjid Layur menyimpan banyak sejarah masa lalu daerah sekitar masjid dan Semarang pada umumnya. Dari segi bangunan, masjid Layur termasuk salah satu masjid yang unik, masjid ini dikelilingi tembok tinggi dengan menara khas Timur Tengah berada di depan, di samping pintu masuk. Bangunan utama masjid sendiri bergaya khas Jawa dengan atap masjid susun tiga, ornamen-ornamen dinding terlihat unik dan indah. Lantai bangunan dibuat seperti rumah gadang dan hanya dapat dicapai dengan tangga yang terdapat pada sisi muka. Pondasi dari batu yang memikul struktur kerangka kayu. Masjid ini dilihat dari gaya arsitekturnya merupakan percampuran dari tiga budaya yaitu Jawa, Melayu dan Arab dengan sentuhan keindahan oleh para pembuatnya. Tidak diketahui secara pasti, berapa kali masjid Menara tersebut dipugar. Berdasarkan informasi dari narasumber bahwa bangunan masjid terakhir kali dipugar pada tahun 1986.
Walaupun sudah dimakan usia namun masjid ini masih kokoh dan masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Sampai sekarang masjid ini masih terus dirawat oleh yayasan masjid setempat sebagai upaya pelestarian sejarah dan sebagai masjid tua kebanggaan Kota Semarang. Secara menyeluruh masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit perbaikan seperti penggantian genteng dan penambahan ruang untuk pengelola pada sisi kanan kompleks masjid. Sejak awal berdirinya bangunan masjid hingga sekarang belum pernah digunakan untuk shalat jum,’at, tetapi dipakai untuk pelaksanaan jama’ah shalat lima waktu , shalat tarawih, shalat idul-Fiti dan shalat Idul-Adha. Dari hasil observasi kemarin, masyarakat tidak tahu pasti kenapa masjid menara tidak digunakan untuk shalat jum’at. Di sini jalan atau gangnya banyak menggunakan istilah ikan asin, seperti Layur, Pethek dan lain sebagainya mungkin karena dekat dengan keberadaan pelabuhan.
Orang Arab yang datang ke Indonesia semula bukanlah untuk berdagang namun mereka datang untuk menyiarkan agama Islam (syiar Islam). Namun pada perkembangannya banyak juga orang Arab yang bekerja sebagai pedagang. Misalnya saja orang dari desa Pethek yang berdagang di pasar Johar yang bernama Habib Umar Al Atas. Akan tetapi sekarang orang Arab bukan hanya sebagai pedagang tetapi ada juga yang menjadi pengacara, pendakwah, bahkan hingga tukang parkir.
ulasan yang bagus. Salam kenal, Saiful Bahri, pengasuh www.muhibbin.com
BalasHapusassalamualaikum, mas sya mayya, mau tnya nih,,,bapak yg mas temui itu apakah berbahasa arab jga dlam kesehariannya apabila berbicara dg sesama keturunan arab?
BalasHapus@saiful bahri ,,, terimaksih sudah mampir,
BalasHapus@maya, sudah saya balas lewat email
@saiful bahri ,,, terimaksih sudah mampir,
BalasHapus@maya, sudah saya balas lewat email