1)
Abu
Dzar Al-Ghifari
Abu Dzar berasal dari Suku Ghiffar yang
tinggal di daerah yang dilalui oleh kafilah-kafilah dagang. Sebelum masuk Islam
dia adalah pemuka kelompok Ghifari. Dia seorang penganut ideologi yang bersedia
untuk mati demi tegaknya kebenaran. Baginya kebenaran adalah mengatakan sesuatu
yang hak dengan terus terang dan menentang yang batil. Dia adalah tokoh pembela
kaum mustad’afin atau kaum yang tertindas, seorang Muslim yang komited, tegar,
revolusioner, yang menyampaikan pesan persamaan, persaudaraan, keadilan, dan
pembebasan. Dia melakukan demonstrasi-demonstrasi dan tunjuk perasaan menentang
kedzaliman penguasa. Dia menyampaikan kontrol sosial, meminta kepada orang yang
berkuasa untuk berlaku adil terhadap rakyat miskin yang telah kehilangan
hak-haknya. Dia juga mendorong masyarakat untuk merebut hak mereka dan
memberantas kemiskinan yang mendekatkan diri kepada kekufuran. [2]
2) Ibnu Khaldun (1332-1406)
Sejarawan dan Bapak Sosiologi Islam ini
berasal dari Tunisia. Ia keturunan dari Yaman dengan nama lengkapnya Waliuddin
Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Al Hasan. Namun, ia lebih
dikenal dengan nama Ibnu Khaldun. Nama popular ini berasal dari nama keluarga
besarnya, Bani Khaldun.
Ia lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332.
di tanah kelahirannya itu, ia mempelajari berbagai macam ilmu, seperti Syariat
(Tafsir, Hadist, Tauhid, Fikih), Fisika dan Matematika. Sejak kecil, ia sudah hafal
Al Quran. Saat itu, Tunisia menjadi pusat perkembangan ilmu di Afrika Utara.
Karya-karya besar yang lahir ditangannya,
yaitu sebuah kitab yang sering disebut Al ‘Ilbar (Sejarah Umum), terbitan Kairo
tahun 1284. Kitab ini terdiri atas 7 jilid berisi kajian Sejarah, yang
didahului oleh Muqaddimah (jilid 1), yang berisi tentang
pembahasan masalah-masalah sosial manusia.
Muqaddimah (yang sebenarnya merupakan pembuka kitab
tersebut) popularitasnya melebihi kitab itu sendiri. Muqaddimah membuka
jalan menuju perubahan ilmu-ilmu sosial. Menurut pendapatnya, politik tak bisa
dipisahkan dari kebudayaan dan masyarakat dibedakan atas masyarakat kota dan
desa. DalamMuqaddimah ini pula Ibnu Khaldun menampakkan diri
sebagai ahli Sosiologi dan Sejarah. Teori pokoknya dalam Sosiologi Umum dan
Politik adalah konsepashabiyah (solidaritas sosial). Asal-usul
solidaritas ini adalah ikatan darah yang disertai kedekatan hidup bersama.
Hidup bersama juga dapat mewujudkan solidaritas yang sama kuat dengan ikatan
darah. Menurutnya, solidaritas sosial itu sangat kuat terlihat pada masyarakat
pengembara, karena corak kehidupan mereka yang unik dan kebutuhan mereka untuk
saling Bantu. Relevansi teori ini misalnya dapat ditemukan pada teori-teori
tentang konsiliasi kelompok-kelompok sosial dalam menyelesaikan konflik
tantangan tertentu. Relevansi teori Khaldun, misalnya juga dapat ditemukan
dalam teori Ernest Renan tentang kelahiran bangsa. Tantangan yang dihadapi
masyarakat pengembara dalam teori Khaldun tampaknya, meski tidak semua, pararel
dengan “kesamaan sejarah” embrio bangsa dalam teori Ernest Renan. Kebutuhan
untuk saling Bantu mengatasi tantangan ini juga memiliki relevansi dalam
kajian-kajian psikologi sosial terutama berkenaan dengan kebutuhan untuk
mengikatkan diri dengan orang lain atau kelompok sosial yang lazim disebut
afiliasi.[3]
Karya Ibnu Kholdul yang lain adalah Kitab
al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran
dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa
Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar
yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang
terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau
jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki,
yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan
ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri
dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang
menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta
dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang
bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa
Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang
Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan
ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan
bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika
Utara).[4]
3) Selo Soemarjan (1915 – 2003)
Prof. Dr. Kanjeng Pangeran merupakan seorang
sosiolog yang mantan camat, kelahiran Yogyakarta 23 Mei 1915. Penerima Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah ini adalah pendiri sekaligus dekan pertama
Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan dosen sosiologi di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Sosiologi
Indonesia setelah tahun 1959, seusai meraih gelar doktornya di Cornell
University, Amerika Serikat. Pada tanggal 30 Agustus 1994, beliau menerima
gelar Ilmuwan Utama Sosiologi.[5] Menurut beliau, sosiologi merupakan ilmu
yang mempelajari struktur sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jaringan
antara unsure sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma
sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok, serta lapisan-lapisan
sosial.[6] Karya-karya Beliau yang telah
diterbitkan diantaranya adalah Social Changes in Yogyakarta (1962)
dan Gerakan 10 Mei di Sukabumi (1963).
4) Hassan Hanafi (1935 – …)
Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari
1935 di Kairo, berasal dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali pada tahun
1948, tamat pendidikan tingkat dasar dan Madrasah Stanawiyah “Khalil Agha”
Kairo dalam waktu empat tahun. Semasa itu, telah mengikuti berbagai diskusi
pemikiran Ikhwan Al Muslimin dan tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb tentang
keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi kepada pemikiran agama,
revolusi, dan perubahan sosial.
Hasan Hanafi seorang pemikir keislaman yang
sudah tidak asing lagi, didunia Arab khususnya yang sangat produktif. Ia
menguasai tiga bahasa: Arab, Inggris, dan Prancis. Diantara karya-karya
fundamentalnya adalah: Min Al-‘Aqidah Ila Al-Tsaurah(1988), Religious
Dialogue Revolution: Essays Judaisn, Christianity and Islam (1977),
dan La Phenomenologie de I’Exegese, Essei d’une hermeneutique
Existentielle a partir du nouveau Testamenet (1966). Selain itu,
Hanafi juga banyak menulis artikel di beberapa jurnal ilmiah berbahasa Arab,
disamping mentahqiq teks-teks klasik Arab dan menterjemahkan beberapa buku
tentang bahasa dan filsafat ke dalam Bahasa Arab.
Pemikiran Hanafi meliputi tiga model. Model
pertama, adalah peranan Hanafi sebagai seorang Pemikir Revolutioner. Dia
menganjurkan untuk memunculkan Al-Yassar Al Islami untuk mencapai Revolusi
Tauhid. Model kedua, adalah sebagai Pembaharu Tradisi Pemikiran Klasik. Sebagai
seorang reformis tradisi Islam, Hanafi adalah seorang rasionalis. Model ketiga,
adalah sebagai Penerus Gerakan Al-Afghani (1838-1897). Al-Afghani adalah
pendiri gerakan Islam modern yang disebut sebagai perjuangan melawan
imperialisme Barat dan penyatuan dunia Islam. Hanafi pun melalui Al-Yassar
Al-Islami, juga menyebutkan hal yang sama.[7]
1.
Antropolog
Islam
1) Koentjaraningrat
Koentjaraningrat lahir di Yogyakarta tahun
1923. Beliau lulus Sarjana Sastra Bahasa Indonesia Universitas Indonesia pada
tahun 1952. mendapat gelar MA dalam antropologi dari Yale University (Amerika
Serikat) tahun 1956, dan gelar Doktor Antropologi dari Universitas Indonesia
pada tahun 1958. Sebelum menjalani pensiun tahun 1988, ia menjadi gurubesar
Antropologi pada Universitas Indonesia. Beliau pernah pula menjadi gurubesar
luar biasa pada Universitas Gajah Mada, Akademi Hukum Militer, Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian, dan pernah diundang sebagai gurubesar tamu di Universitas
Utrecht (Belanda), Universitas Columbia, Universitas Illinors, Universitas
Ohio, Universitas Wisconsin, Universitas Malaya, Ecole des Hautes Etudes en
Sciences Sociales di Paris, dan Center for South East Asian Studies,
Universitas Kyoto. Penghargaan ilmiah yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Utrecht (1976) dan Fukuoka Asian Cultural Price
(1995).
Menurut beliau, dalam menentukan dasar-dasar
dari antropologi Indonesia, kita belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita
masih dapat memilih serta mengkombinasikan berbagai unsur dari aliran yang
paling sesuai yang telah berkembang di negara-negara lain, dan diselaraskan
dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia.[8] Karya-karyanya yang telah diterbitkan
antara lain Atlas Etnografi Sedunia, Pengantar Antropologi, dan Keseragaman dan
Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
2) Parsudi Suparlan
Prof. Parsudi Suparlan adalah seorang
Antropolog Nasional, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan Antropologi di
Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak
lain adalah karena pentingnya penguasaan teori. Beliau lulus Sarjana
Antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964. Kemudian menempuh jenjang MA
lulus pada tahun 1972 dan PhD lulus tahun 1976 di Amerika Serikat. Beliau
mencapai gelar Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia tahun 1998. Menurut
beliau, antropologi merupakan disiplin ilmu yang kuat, karena pentingnya teori,
ketajaman analisis, ketepatan metodologi, dan tidak hanya sekedar mengurai-uraikan
data. Selain itu, juga pentingnya pemahaman yang kuat mangenai konsep
kebudayaan dan struktur sosial.[9]
2. PEMIKIR BARAT
Sosioloi dan Antropolog Barat yang cukup
berpengaruh, dalam mengembangkan ilmu Sosiologi dan Antropologi juga sangat
banyak. Sosiolog Barat diantaranya adalah Auguste Comte, Pierre Guillaurne
Frederic Le Play, Karx Mark, Herbert Spencer, Ferdinand Tonnies, Emile
Durkheim, Max Weber, dan Charles Horton Cooley. Sedangkan Antropolog Barat
diantaranya adalah Clifford Geertz dan James Danandjaja.
1.
Sosiolog
Barat
1) Auguste Comte (1798 – 1857)
Tokoh yang kemudian dikenal sebagai bapak
pendiri aliran positivisme dalam ilmu-ilmu sosial ini lahir pada tanggal 19
Januari 1798 di Montpellir, Prancis. Auguste Comte dikenal sebagai The
Father of Sociology karena sumbangannya dalam memperkenalkan istilah
sosiologi dalam bukunya yang berjudul Cours de Philosophy Positive.
Beliau berpendapat bahwa sejarah manusia adalah mengikuti satu susunan yang
mematuhi hukum tertentu. Evolusi masyarakat akan disertai dengan kemajuan yang
mewujudkan perkembangan intelektual. Comte dikenal karena telah memperkenalkan
hokum Law of Human Progress.
Dalam bukunya yang berjudul Cours de
Philosophy Positive yang terdiri atas enam jilid, ia mengemukakan
pendapatnya tentang perkembangan pikiran manusia yang terdiri atas tiga tahap.
Pertama tahap teologis, yaitu pengetahuan manusia didasarkan pada kepercayaan
akan adanya penguasa adikodrati yang mengatur dan menggerakkan gejala-gejala
alam. Kedua tahap metafisis, yaitu pengetahuan manusia berdasar
pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip abstrak yang menggantikan kedudukan
kuasa-kuasa adikodrati. Metafisika merupakan pengetahuan puncak masa ini.
Ketiga tahap positif, yaitu pengetahuan manusia berdasar atas
fakta-fakta. Berdasar observasi dan dengan menggunakan rasionya, manusia pada
tahap positif ini dapat menentukan relasi-relasi persamaan dan atau urutan yang
terdapat pada fakta-fakta. Pengetahuan positif adalah pengetahuan yang
tertinggi kebenarannya yang dicapai oleh manusia.[10]
2) Pierre Guillaurne Frederic Le Play (1806 – 1882)
Le Play, seorang Perancis, adalah salah
seorang ahli ilmu pengetahuan kemasyarakatan terkemuka abad ke-19. Dia
berhasil mengenalkan suatu metode tertentu di dalam meneliti dan menganalis
gejala-gejala sosial yaitu dengan jalan mengadakan observasi terhadap
fakta-fakta sosial dan analisis induktif. Kemudian dia juga menggunakan
metode case study dalam penelitian-penelitian sosial.
Penelitian-penelitiannya terhadap masyarakat
menghasilkan dalil bahwa lingkungan geografis menentukan jenis pekerjaan, dan
hal ini mempengaruhi organisasi ekonomi, keluarga serta lembaga-lembaga
lainnya. Keluarga merupakan objek utama dalam penyelidikan. Dia berkeyakinan
bahwa anggaran belanja suatu keluarga merupakan ukuran kuantitatif bagi
kehidupan keluarga sekaligus menunjukkan kepentingan keluarga tersebut.
Akhirnya dikatakan bahwa organisasi sosial keluarga sepenuhnya terikat pada
anggaran keluarga tersebut. Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara
lain European Workers (1855), Social Reform in France (1864), The
Organization of the Family (1871), dan The Organization of
Labor (1872).[11]
3) Karx Mark (1818 – 1883)
Karl Mark lahir di Trier, Jerman pada tahun
1818 di keluarga Yahudi. Mark lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah
ekonomi, ahli filsafat, dan aktivis yang mengembangkan teori sosialisme
marxisme, daripada sebagai seorang perintis sosiologi. Meskipun demikian,
sebenarnya Mark merupakan seorang tokoh sosiologi yang memberi sumbangan
tentang stratifikasi sosial dan konflik. Pemikiran Mark pun diarahkan pada
perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak perkembangan
pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan kapitalisme. Menurut Mark
perkembangan pembagian kerja dalam kapitalisme menumbuhkan dua kelas yang
berbeda, yaitu kelas yang terdiri atas orang yang menguasai alt produksi (kaum
bourgeoisie) dan kelas yang terdiri atas orang yang tidak memiliki alat
produksi (kaum proletar).[12]
4) Herbert Spencer (1820 – 1903)
Herbert Spencer lahir di Inggris pada tahun
1820. selain bidang matematika dan pengetahuan alam yang ia tekuni, ia juga
tertarik menekuni bidang ilmu sosial. Ia mengemukakan sebuah teori tentang
evolusi masyarakat dan membaginya menjadi tiga sistem, yaitu sistem penahan,
pengatur, dan pembagi. Sistem penahan berfungsi untuk
memberikan kecukupan bagi kelangsungan hidup masyarakat. Sistem
pengatur berperan memelihara hubungan antar sesama anggota masyarakat
dan dengan masyarakat lain. Sistem pembagi dapat dilihat
wujudnya dalam proses evolusi yang semakin maju. Ia memandang ketiga sistem itu
dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam proses pembangunan sebuah
negara. Paham evolusi dari Spencer meyakini bahwa masyarakat akan berubah dari
masyarakat yang homogen dan simpel, kepada masyarakat yang heterogen dan
kompleks, selaras dengan kemajuan masyarakat. Spencer melihat bahwa masyarakat
bukan sebagai satu kelompok individu tetapi sebagai satu organisme yang hidup
dan mempunyai berbagai keinginan. Hasil karya Herbert Spencer antara lain Social
Statics (1850), The Study of Sociology (1873), danDescriptive
Sociology (1874).[13]
5) Ferdinand Tonnies (1855 – 1936)
Tonnies dilahirkan di Frisia, Oldenswart,
Jerman. Dia adalah anak dari suatu keluarga petani kaya. Dia menganjurkan
sosiologi untuk mengarah ke positivistik dengan penggunaan data statistik.
Sumbangannya kepada sosiologi adalah tentang pengelompokan dalam masyarakat,
dimana terdapat dua kelompok dalam masyarakat, yaitu:
a) Gemeinschaft yang
digambarkan dengan kehidupan bersama yang intim, pribadi, dan ekslusif.
Bersifat organik dan tradisional. Suatu keterikatan yang dibawa sejak lahir,
yang terbagi atas:
(1) Gameinschaft by Blood,
yang mengacu pada ikatan-ikatan kekerabatan.
(2) Gameinschaft by Place,
yang mengacu pada kedekatan letak tempat tinggal.
(3) Gameinschaft by Mind,
yang mengacu pada kebersamaan di masyarakat masing-masing, namun masih tetap
mandiri.
b) Gesellschaft adalah kehidupan
publik dalam kebersamaan di masyarakat namun masing-masing tetap mandiri.
Gesellschaft lebih bersifat struktur mekanik modern.[14]
6) Emile Durkheim (1858 – 1917)
Durkheim yang memiliki nama lengkap David
Emile Durkheim, dilahirkan pada tanggal 15 April 1858 di Epinal ibu kota bagian
Vorges, Lorraine Prancis bagian timur. Durkheim dikenal dengan teori
solidaritas atau konsensus sosialnya. Teorinya ini tidak terlepas dari berbagai
peristiwa dan skandal yang ia saksikan di Prancis.
Teori Durkheim yang lain adalah gagasannya
mengenai kesadaran kolektif (conscience collective) dan gambaran
kolektif (representation collective). Gambaran kolektif adalah
simbol-simbol yang memiliki makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok
dan memungkinkan mereka untuk merasa satu sama lain sebagai anggota-anggota
kelompok. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif.
Kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki bersama oleh para
anggota masyarakat dan menjadi tujuan atau maksud kolektif. Karya
Durkheim dapat disebutkan antara lain, De la Division du Travail
Social: Etude des Societes Superieur (1893), Le Suicide: Etude
de Sociologique(1877) yang mengupas soal bunuh diri dalam tinjauan
sosiologi serta sebuah karya mengenai sosiologi agama berjudul Les
Formes Elementaires de la vie Religique en Australie (1912).[15]
7) Max Weber (1864 – 1920)
Max Weber seorang sosiolog, ahli ekonomi,
sekaligus ahli ilmu politik dari Jerman. Ia menghabiskan waktunya untuk
mengajar di beberapa tempat, antara lain di Berlin, Freiburg, Munich, dan
Heidelberg. Salah satu minat besar Weber adalah keinginannya untuk
mengembangkan metodologi bagi ilmu-ilmu sosial. Karya-karyanya sangat
memberikan pengaruh terhadap para ahli ilmu sosial abad dua puluh. Dalam
analisis sosiologis ia mengajukan apa yang disebutnya sebagai “idea types”,
yakni model umum dari situasi sejarah yang dapat dipakai sebagai dasar
pembandingan antarmasyarakat. Ia melawan para penganut Marx ortodoks saat itu
yang mengatakan bahwa ekonomi merupakan faktor yang penting dan sangat
menentukan dalam kehidupan sosial.
Weber menekankan peran nilai-nilai religius,
ideologi, dan pemimpin kharismatik dalam memelihara kondisi masyarakat. Dalam
karyanya, Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1920)
ia mengembangkan suatu tesis mengenai keterkaitan yang erat antara gagasan
asketis sebagaimana dikembangkan dalam Calvinisme dan kemunculan
lembaga-lembaga kapitalis. Ia merupakan tokoh yang cukup berpengaruh dalam
penggunaan statistik sosiologi dalam studi kebijakan ekonomi. Diantara karyanya
yang lain adalah Wirtschaft und Gesellschaft (Ekonomi dan
Masyarakat) serta General Economic History.[16]
8) Charles Horton Cooley (1864 – 1929)
C. H. Cooley lahir di Michigan, Amerika
Serikat. Pada mulanya, dia belajar teknik mesin elektro, kemudian dia juga
belajar ekonomi. Setelah lulus akademis dia bekerja di pemerintahan seperti di
Departemen Komisi Pengawas, kemudian juga di Kantor Sensus. Pada tahun 1892,
dia menjadi dosen ilmu ekonomi, politik, serta sosiologi di Universitas
Michigan. Cooley tergolong dalam sosiolog interaksionisme simbolik klasik.
Sumbangannya kepada sosiologi tentang sosiologi dan interaksi. Menurutnya, diri
(self) seseorang berkembang melalui interaksi dengan orang lain lewat
analogi diri yang melihat cermin (looking glass self), yaitu diri
seseorang memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakat
terhadapnya. Cooley juga memperkenalkan konsep primary group, yaitu kelompok
yang ditandai oleh pergaulan dan kerja sama, serta tatap muka yang intim.[17]
Cooley dalam mengemukakan teorinya terpengaruh
oleh aliran romatik yang mengidamkan kehidupan bersama, rukun, dan damai,
sebagaiman dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang masih bersahaja. Dia
prihatin melihat masyarakat-masyarakat modern yang telah goyah norma-normanya,
sehingga masyarakat-masyarakat bersahaja merupakan bentuk ideal yang terlalu
berlebih-lebihan kesempurnaannya. Hasil karyanya antara lain uman Nature
and Social Order (1902),Social Organization (1909),
dan Social Process (1918).[18]
1.
Antropol
Barat
1) Clifford Geertz (1926 – 2006)
Profesor Clifford Geertz adalah seorang tokoh
antropologi asal Amerika Serikat. Beliau dijuluki sebagi Tokoh Antropologi
Segala Musim. Hal ini dikarenakan pemikirannya yang selalu mengikuti zaman.
Karyanya yang berjudul The Religion of Java adalah suatu karya yang berciri
kuat structural-fungsionalisme klasik. Geertz juga diakui sebagai salah satu
pembuka jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir
dalam setiap karya dan perbincangan teori antropologi di dunia mengutip
karya-karyanya, sekalipun perbincangan tersebut mengkritik/kontra dengan
pemikirannya. Salah satu pemikirannya yang mengandung relevasi dan
merefleksikan kondisi masyarakat dan kebudayaan kota masa kini adalah tesis
tentang involusi pertanian yang dapat dilacak dalam bukuAgricultural
Involution, The Process of Ecological Change in Indonesia (1963).[19]
2) James Danandjaja (1934 – …)
James Danandjaja dilahirkan di Jakarta 13
April 1934. Beliau adalah tokoh Folklor Nusantara yang pertama. Bagian budaya
yang bernama folklor itu berupa bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki,
legenda, dongeng, lelucon, nyanyian rakyat, seni rupa, dan lain sebagainya.
Ilmu tentang folklor ia perkenalkan kepada mahasiswa jurusan Antropologi FISIP
Universitas Indonesia sejak tahun 1972. pada mata kuliah tersebut, para
mahasiswa antara lain ditugasinya mengumpulkan berbagai folklor di tanah air.
Hasil pengumpulan itulah, antara lain yang ia gunakan untuk bukunya. Ia
mendapatkan Master dari Universitas Berkeley tahun 1971 dengan karya tulis yang
kemudian diterbitkan sebagai buku, An Annotated Bibliography of Javanese Folklore.
Gelar Doktor dalam bidang Antropologi Psikologi ia peroleh dari Universitas
Indonesia tahun 1977, dengan disertasi Kebudayaan Petani Desa Trunyan
di Bali. Buku lain karya Jimmi adalah Pantomim Suci Betara Beratak
dari Trunyan, Bali dan Upacara Lingkaran Hidup di Trunyan,
Bali, serta Folklor Indonesia.[20]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar